Minggu, 20 Oktober 2019

Pemburu Kerja, Berdansa Ingin Difahami dan Memahami

Oleh : Bambang Haryanto

Semua diri kita ingin difahami. Termasuk tetangga saya. Dia punya dua mobil untuk usaha. Tetapi tidak punya garasi. Dia memarkir mobilnya di jalanan kampung yang tidak begitu lebar.

Karena budaya Jawa yang menomor satukan harmoni, "wegah rame," warga enggan menegur. Akibatnya, garasi jalanan itu terus berlanjut sampai kini.

Realitas ini bikin ingat cerita Presiden Joko Widodo saat pelantikannya di Gedung MPR, 20/10/2019 :

"Cerita sedikit, tahun pertama saya di istana, saat mengundang masyarakat untuk halalbihalal, protokol meminta

saya untuk berdiri di titik itu, saya ikut. Tahun kedua, halalbihalal lagi, protokol meminta saya berdiri di titik yang sama, di titik itu lagi. 

Langsung saya bilang ke Mensesneg, “Pak, ayo kita pindah lokasi. Kalau kita tidak pindah, akan jadi kebiasaan. Itu akan dianggap sebagai aturan dan bahkan nantinya akan dijadikan seperti undang-undang.”

***

Keinginan setiap insan untuk difahami, adalah manusiawi. Tetapi untuk bisa memahami? Keinginan untuk difahami juga sering muncul dalam pola pikir kalangan para pemburu kerja. 

Bagi yang freshgrad, minta dimaklumi karena tidak atau belum punya pengalaman. Yang senior, minta difahami karena sudah berkeluarga. Sementara yang berpengalaman minta dimaklumi bila meminta gaji yang lebih tinggi.

Semoga dunia kita, juga dunia korporasi kita ini, masih cukup ramah untuk bisa mengabulkan semua kehendak Anda dan kita semua yang serba ingin difahami itu. 

Namun sekadar untuk obat kecewa bila ternyata dunia ini tidak selalu seperti yang Anda harapkan, semoga nasehat Pak Stephen Covey tentang Habit Kelima dari buku The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change (2003) bisa memberi sekadar pencerahan bagi Anda : 

"Pertama-tama adalah berusaha memahami dan kemudian bisa difahami"

Moga ajaran ini bisa mengetuk nurani tetangga saya yang punya mobil dua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar