Selasa, 31 Maret 2020

Kisah Dua Tumpuk Surat Lamaran Pekerjaan

Oleh : Bambang Haryanto

Burung berbulu sama terbang bersama. Pepatah lama yang tak bisa kita ingkari kebenarannya. Kita punya naluri merasa nyaman dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengan diri kita. 

Sobat para pemburu kerja, ketahuilah, aksioma itu juga berpengaruh signifikan terhadap sukses atau gagalnya Anda dalam berburu pekerjaaan. Ada cerita dari rekruiter bila dirinya memiliki dua jenis tumpukan CV di bank datanya. 

Satu tumpuk, yang tinggi menjulang, berisi CV yang dikirimkan oleh pelamar lewat Internet. Sedang tumpukan kedua, lebih tipis, berisi data pelamar yang dia kenal dan dia ketahui reputasinya. 

Kalau ada lowongan terbuka di perusahaannya, tentu saja dia akan mengontak mereka yang terdapat pada tumpukan yang kedua.

Sobat pemburu pekerjaan, usul saya, berusahalah agar Anda untuk bisa masuk dalam tumpukan yang kedua. Lakukan tindak lanjut dari pepatah di awal, adalah pepatah pula : tidak kenal maka tak sayang. 

Setelah Anda membroadcast CV Anda di LinkedIn dan memperoleh banyak "up" dari jejaring Anda yang baik hati, kini tambahkan juga cara-cara kreatif agar Anda bisa makin dikenal. Untuk bisa disayang. Untuk bisa dipercaya. 

Tampilkan diri Anda di LinkedIn sebagai produser informasi. Yang isinya mampu memberi manfaat dan inspirasi bagi jejaring Anda. Tentu saja dari perspektif profesi yang ingin Anda terjuni. Anda menghimpun burung berbulu sama untuk bisa terbang bersama.

Konon ada hukum yang berbunyi bahwa Anda harus bertemu 12 kali dengan orang baru agar dia mampu mengenali diri Anda. 

Silakan Anda mencobanya.

linkedin.com/bambangharyanto

Minggu, 23 Februari 2020

Membangun Reputasi Digital Anda : Jadilah Katalis dan Bukan Artis!

Oleh : Bambang Haryanto

Di media sosial, kata Gary Vaynerchuck, Anda jangan tampil sebagai artis. Tapi tampilkan diri Anda sebagai disc jockey. 

Saya hanya bisa menebak-nebak maksud ucapan dia itu. Yakni, kalau Anda sebagai artis maka Anda memosisikan diri di bawah lampu sorot. Berambisi menjadi pusat perhatian. Semua story atau topik postingan hanya tentang diri Anda. Kosa kata yang berhamburan adalah : saya, karier saya, pengalaman saya, saya dulu, sukses saya. 

Di era awal sebagai pengguna Facebook, sebagaimana ulah pengguna lain, banyak dari kita tampil sebagai artis. Memajang foto-foto diri sendiri, bergaya duck face, baik bersama kucingnya yang baru beranak, pose bersama keluarga di resto, atau lagi berwisata di spot yang eksotis.

Seiring berjalannya waktu, satu persatu, para artis itu menghilang dari lini masa kita. "Menulis tentang diri sendiri punya keterbatasan," kata sastrawan Ayu Utami. "Lama-lama stok cerita tentang kita itu akan habis." 

Kata Gary Vee, tampilkan diri Anda sebagai disc jockey. Bayangan saya, dia hadir di tengah kerumunan untuk terus mengajak audien bergoyang. Agar saling berinteraksi satu sama lain. Menyertai nomor-nomor musik yang dia sajikan. 

Nomor musik atau topik materinya dirancang untuk terus aktual. Kekinian. Sarat value. Dia pun dituntut harus terus men-charge diri dengan wawasan dan pengetahuan baru. Agar tidak kedaluwarsa. 

Anda ingin menjadi artis atau katalis? Anda bebas memilihnya.

@bambangharyanto


Jumat, 21 Februari 2020

Dongeng Sop Batu dan Reputasi Digital Anda

Oleh: Bambang Haryanto

Anda pernah dengar dongeng tentang sop batu? Para pionir digital seperti Jeff Bezos (Amazon), Mark Zuckerberg (Facebook) sampai Reid Hoffman (LinkedIn) bisa kaya raya sebagai bilyuner berkat meneladani dongeng sop batu itu.

Kata sahibul hikayat, ada seorang asing di tengah tanah lapang membuat perapian yang menyala dengan kuali di atasnya. Di dalam kuali berisi air dan sebungkah batu. Dengan bergembira dia mengaduk-aduknya.

Tingkah orang yang terlihat aneh ini membuat orang datang mengerubungi dan bertanya mengenai aksinya tersebut. "Saya sedang memasak sop batu. Sop yang paling enak di dunia, dan Anda semua nanti akan ikut menikmatinya pula," jelasnya.

Melihat orang-orang itu nampak berminat, dia melanjutkan bahwa agar sop itu benar-benar nikmat dia meminta bantuan untuk bumbu-bumbunya. Orang-orang itu bubar, pulang ke rumah, tetapi kembali ke lokasi itu. Ada yang membawa garam, kaldu, irisan daging, wortel, seledri dan bahan-bahan lainnya. 

Semua bumbu dimasukkan ke dalam kuali. Bahkan kini mereka bergantian mengaduknya. Akhirnya, sop lezat pun masak, terhidang, untuk mereka nikmati secara bersama-sama.

Kini di era kita, baik dalam platform Facebook, Amazon dan LinkedIn, para pionir digital itu bisa disebut menyediakan lapangan, perapian, kuali, air dan batu. Kita semua yang kemudian menambahinya dengan bumbu dan  akhirnya bisa menikmatinya secara bersama-sama.

Camkan pesan ini : untuk bisa ikut menikmati "sop batu digital" secara terhormat, ingatlah,  Anda harus mau berkontribusi dahulu. Untuk membangun reputasi digital Anda dahulu.

Anda bersedia?

@bambangharyanto

Rabu, 19 Februari 2020

Anda Bukan Aset Perusahaan !

Oleh : Bambang Haryanto


"Karyawan adalah aset utama perusahaan." Kredo ini di era VUCA masa kini apakah menjadi suatu kebanggaan, jadi bahan tertawaan atau justru sebagai pemicu tangis Anda sekeluarga?

Bacalah berita-berita mutakhir tentang PHK. Mungkin hari ini Anda merasa masih kebal dari ancaman dan bencana kehilangan pekerjaan itu. Tetapi seperti ditamsilkan pada sosok kurcaci Haw dan Hem dari buku Who Moved My Cheese?-nya Spencer Johnson, ancaman itu sering tidak terlihat.

Kurcaci Haw dan Hem bersama duo tikus selama ini menghuni labirin yang menyediakan keju berlimpah untuk mereka. Kehebohan terjadi saat tiba-tiba keju itu lenyap. Hem hanya bisa marah-marah dan meratapi kehilangan itu, Haw melakukan introspeksi. 

Lenyapnya keju itu, dia sadar, tidak terjadi secara mendadak. Jumlahnya makin sedikit tanpa ia sadari. Yang tertinggal pun sudah tua. Rasanya sudah tidak enak. Haw sadar perubahan itu tidak akan mengejutkannya jika ia selalu memperhatikan kejadian-kejadian yang ada dan mengantisipasi perubahan yang terjadi.

Perubahan itu harus dia telan kini. Seumpama dia karyawan kini saatnya berpikir bahwa dirinya bukan aset perusahaan. Karena dia bisa kena PHK di saat-saat tidak terduga. 

Dia adalah aset bagi dirinya sendiri. Dia harus pasang kuda-kuda, mengasah semua keterampilan dan wawasan agar bisa terus menari dan tidak tenggelam digulung deru gelombang VUCA masa kini.

@bambangharyanto

Minggu, 20 Oktober 2019

Pemburu Kerja, Berdansa Ingin Difahami dan Memahami

Oleh : Bambang Haryanto

Semua diri kita ingin difahami. Termasuk tetangga saya. Dia punya dua mobil untuk usaha. Tetapi tidak punya garasi. Dia memarkir mobilnya di jalanan kampung yang tidak begitu lebar.

Karena budaya Jawa yang menomor satukan harmoni, "wegah rame," warga enggan menegur. Akibatnya, garasi jalanan itu terus berlanjut sampai kini.

Realitas ini bikin ingat cerita Presiden Joko Widodo saat pelantikannya di Gedung MPR, 20/10/2019 :

"Cerita sedikit, tahun pertama saya di istana, saat mengundang masyarakat untuk halalbihalal, protokol meminta

saya untuk berdiri di titik itu, saya ikut. Tahun kedua, halalbihalal lagi, protokol meminta saya berdiri di titik yang sama, di titik itu lagi. 

Langsung saya bilang ke Mensesneg, “Pak, ayo kita pindah lokasi. Kalau kita tidak pindah, akan jadi kebiasaan. Itu akan dianggap sebagai aturan dan bahkan nantinya akan dijadikan seperti undang-undang.”

***

Keinginan setiap insan untuk difahami, adalah manusiawi. Tetapi untuk bisa memahami? Keinginan untuk difahami juga sering muncul dalam pola pikir kalangan para pemburu kerja. 

Bagi yang freshgrad, minta dimaklumi karena tidak atau belum punya pengalaman. Yang senior, minta difahami karena sudah berkeluarga. Sementara yang berpengalaman minta dimaklumi bila meminta gaji yang lebih tinggi.

Semoga dunia kita, juga dunia korporasi kita ini, masih cukup ramah untuk bisa mengabulkan semua kehendak Anda dan kita semua yang serba ingin difahami itu. 

Namun sekadar untuk obat kecewa bila ternyata dunia ini tidak selalu seperti yang Anda harapkan, semoga nasehat Pak Stephen Covey tentang Habit Kelima dari buku The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change (2003) bisa memberi sekadar pencerahan bagi Anda : 

"Pertama-tama adalah berusaha memahami dan kemudian bisa difahami"

Moga ajaran ini bisa mengetuk nurani tetangga saya yang punya mobil dua.

Selasa, 15 Oktober 2019

Apakah Media Sosial Jadi Pemicu Egosentris Anda?

Oleh : Bambang Haryanto

Membicarakan diri sendiri memang mengasyikkan. Bahkan sering memabukkan. Anda setuju?

"Anda manusia juga. Wajar bila Anda tergoda untuk berbicara tentang diri sendiri. Anda ingin bersinar. Anda ingin mengesankan orang lain."

Pendapat Les Giblin dalam The Art of Dealing with People (2001) itulah yang kiranya menjadi daya dorong utama diri sebagian diri kita dalam berekspresi di media sosial. 

Dorongan kuat ingin eksis, begitu istilah populernya, mungkin juga yang telah membuat beberapa istri tentara tergoda jadi komentator politik di media sosial sehingga memicu kehebohan nasional akhir-akhir ini. Literasi digital yang rendah, dituding sebagai pemicunya.

Tetapi jangan lupa, media sosial juga membawa "penyakit"-nya sendiri pula. Menurut studi Universitas Michigan (2014), Facebook dan Twitter menarik mereka-mereka yang membutuhkan dorongan ego. 

Disebutkan, obsesi dengan media sosial menjadi kurang tentang bagaimana menghubungkan kita dengan orang lain, tetapi lebih banyak tentang kesombongan, egosentrisitas dan promosi diri sendiri. 

Contoh, bisa Anda temukan sendiri. Tentang seseorang yang terus-menerus berbagi status betapa hebatnya hidup dia. Betapa tampan atau cantik, kaya, dan kepedulian pasangan kepada dirinya. Betapa keren pekerjaan atau proyek-proyek bisnis mereka. Sampai betapa ajaibnya usahanya menurunkan berat badan yang terjadi hanya dalam waktu semalam. Silakan sambung cerita ini.

Apakah cerita-cerita bergaya serupa juga muncul di lini masa akun LinkedIn dan akun media sosial Anda lainnya?

Les Giblin memberi tips : "Kalau Anda hanya ingin memuaskan ego Anda, berbicaralah hanya tentang diri sendiri. Tetapi jangan berharap akan memperoleh sesuatu yang lain dari pembicaraan itu."

Minggu, 13 Oktober 2019

Menulis di Media Sosial : Berbagi Nilai atau Promosi Diri Sendiri

Oleh : Bambang Haryanto

Penolakan itu menyakitkan. Dalam cinta. Dalam berburu pekerjaan. Dalam konteks saya, adalah saat mengirim artikel ke surat kabar nasional.

Berkali-kali ditolak. Dalam surat pengembalian artikel (budaya email masih belum ada) selalu disertakan pelbagai syarat untuk tulisan yang berpeluang dimuat. Antara lain, isi harus aktual. Memuat pandangan baru.Terkait kepentingan orang banyak. Bukan artikel teknis.

Jadilah impian bahwa nama saya akan tampil di halaman opini, mejeng sehari sebagai thought leader, tetap tidak kesampaian sampai hari ini. Penolakan itu memicu untuk mencari jalan lain. Memang tidak pernah muncul di halaman opini, syukurlah beberapa kali tulisan saya ternyata bisa dimuat di halaman lainnya.

Di era media sosial kini, mungkin dorongan orang untuk menulis di media massa menyurut. Alasannya, mengapa harus berkompetisi, dengan kemungkinan besar ditolak, sementara di akun medsos milik kita, kita bisa menulis apa saja, sebebas apa pun mau kita?

Pendapat itu setengah benar. Tetapi upaya menulis di media massa, tetap berguna. Karena ada seleksi, minimal memandu kita untuk selalu menulis yang berorientasi berbagi value bagi pembaca.

Kepentingan pembaca yang menjadi fokus kita, dan bukan sibuk berbusa-busa membicarakan diri kita sendiri semata walau peluangnya terbuka. 

Seorang Guy Kawasaki, penulis 13 buku, pernah membagikan tips menulis di media sosial. Porsinya, menurutnya, 90 persen konten bagus dan sisanya, 10 persen adalah upaya menahan diri dari kemaruk memromosikan diri sendiri.

Ah, itu berat sekali itu, Guy !
Anda setuju?